Culture Shock di Kuala Lumpur
Ini bukan pertama kalinya saya ke Malaysia, melainkan kedua kalinya, tapi pertama kalinya ke Kuala Lumpur. Berikut culture shock yang saya alami.
- Jam solat. Yang bikin saya kaget adalah magrib jam setengah 8 dan isya jam setengah 9.
- Sebelumnya saya pernah ke Melaka. Saya tahu, di sana mayoritas Chinese. Saya berharap datang ke Kuala Lumpur akan banyak bertemu orang Melayu, sayangnya tidak. Malah pemandangan pertama adalah wajah-wajah India. Mulai dari petugas loket LRT sampai toko-toko sepanjang menuju hotel. Ini seperti sedang berada di Little India Singapore. Malah, saya pertama kali datang diberi kesan kurang mengenakan, diklakson orang India. 😄
- Waktu saya ke Melaka dan transit di Johor, saya bertanya ke seorang Pakcik pakai English, tapi malah ditegur untuk jangan berbicara berbahasa Inggris. Katanya, sesama orang melayu bicara melayu. Maka dari itu, di Kuala Lumpur, saya bicara melayu. Karena seringnya berinteraksi dengan orang India dan Bangla, saya tanya pakai bahasa melayu, mereka respon dengan English. Pas saya tanya pakai English ke orang Bangla yang berbeda, dia pun tak paham. Bahkan, saya pernah tanya ke orang India pakai bahasa melayu, dijawab bahasa Hindi. Saya bingung harus berbahasa apa di sini. 😄 Bagaimana bisa orang Malaysia tapi tak bisa berbahasa Melayu. Saya bersyukur Indonesia punya bahasa persatuan.
- Beberapa minuman manis yang juga ada di Indonesia, di sini nggak begitu manis. Cocok buat saya. Saya perhatikan mereka peduli dengan kadar gula di dalam minuman dan makanan kemasan.
- Semprotan toilet bukan model dipencet, seperti selang biasa. Agak ribet ya. Bikin toilet becek. ðŸ¤
- Malaysia ini kan mayoritas muslim, tapi jarang sekali mendengar adzan. Sekalinya dengar adzan, di sekitaran masjid.
- Sebagai mayoritas muslim, tidak terlihat hal-hal untuk menyambut Ramadan, seperti tulisan "Marhaban Ya Ramadan". Di mall, tak ada pun hiasan penyambutan bulan suci Ramadan layaknya di Indonesia.
- Solat di masjid Jamek, wudhu agak jauh dari tempat solat.
- Di sini saya lebih sering dengar musik India ketimbang musik melayu.
- Di kereta jam pulang kerja, kereta penuh, ada orang India scrolling Toktok dengan volume besar. Sebagai orang asing, saya merasa terganggu. Di Indonesia sudah kena tegur. Ini tempat umum. Saya perhatikan, tak ada yang menegurnya satu pun, bahkan orang Melayu pun. Kalian (Melayu) mayoritas di Malaysia, tapi kalian macam tak ada power.
- Datang ke Batu Cave dan masuk toilet, maka akan melihat seberapa joroknya mereka. Ini otomatis bisa merusak imej orang melayu, karena ini Malaysia.
- Jujur, saya ke KL ini berharap bisa bertemu banyak orang Melayu dan makan makanan melayu, seperti ikan asam pedas, tapi sejauh mata memandang kebanyakan malah resto India, Bangladesh dan Chinese. Ke mana resto Melayu? Yang tahu, boleh komen. Siapa tahu kalau ke KL lagi, saya bisa ke resto melayu.
Satu sisi saya khawatir budaya melayu di Malaysia tenggelam, karena pesatnya budaya India dan Bangla di sana. Apalagi mereka menguasai area pariwisata. Semoga budaya melayu di Malaysia tetap terlestarikan dan menjadi budaya paling kuat, khususnya di area pariwisata. Sebab, turis datang ke sebuah negara bukan sekadar wisata, melainkan juga ingin mengenal budaya dan kearifan lokal aslinya, bukan malah budaya pendatang.
Sekian dan terima kasih.
Komentar
Posting Komentar