Budaya Patriarki Korea

Ulasan Novel Kim Ji-yeong Karya Cho Nam-joo.

Bagi yang sudah biasa menoton drama Korea, pasti tidak aneh dengan budaya patriarki Korea yang masih ada hingga sekarang. 

Kim Ji-yeong lahir 1982, seumuran abang saya. Sebelum tahun 1995, Korea sangat kental dengan budaya patriarki, di mana posisi perempuan selalu di bawah laki-laki. Sebelum Kim mengalaminya, hal itu sudah dirasakan oleh ibunya Kim yang mendapat tekanan harus melahirkan anak laki-laki, karena itu bisa menyenangkan ibu mertuanya, nenek Kim Ji-yeong. Setelah adiknya lahir, adik laki-lakinya selalu mendapat keistimewaan, seperti mendapat kamar sendiri, hingga makan pun didahulukan. 

Pernah mendengar bahwa etika makan di Korea harus lelaki paling tua dahulu yang makan, baru semuanya boleh makan. Nah, zaman Kim kecil, urutan makannya adalah ayahnya, adik laki-lakinya, baru para perempuan boleh makan. Sebegitu istimewanya anak laki-laki. 

Saat Kim SD, perlahan ada ketua kelas perempuan. Ini kemajuan yang baik menurut ibunya. Meski begitu, budaya itu sulit luntur. Saat Kim SMP, ia melihat teman perempuannya dihukum karena memakai sepatu olah raga, padahal para siswa laki-laki ada yang memakainya juga dan tidak dihukum dengan alasan laki-laki banyak bergerak. 
Saat Kim SMA, ia mulai mendapat menstruasi. Ia tersiksa dengan perut melilit, namun itu tak membuatnya merasa istimewa. Ia pergi kursus dan beberapa kali disuruh untuk memakai rok pendek meski Kim tidak mau. Saat Kim kerja, ia memiliki kemampuan yang luar biasa. Karena di kantornya hanya dia yang karyawati, maka ia kerap disuruh menyiapkan minuman, makanan, bahkan saat ada promosi jabatan, Kim tidak ditunjuk meskipun ia pintar. Alasannya karena dia perempuan. 
Saat ia menikah, mertuanya kerap menyuruhnya kerja tanpa henti saat Hari Raya Chuseok. Kim dan kakaknya bekerja untuk membiayai sekolah adiknya hingga universitas. Itu juga yang dilakukan ibunya Kim, membiayai pamannya sekolah kedokteran. 

Kehidupan Kim dan budaya patriarki ini sebenarnya budaya klasik zaman dulu, di manapun. Bukan hanya Korea, saya rasa, melainkan juga ada di Indonesia. Kita tarik bagaimana perjuangan Kartini. Di Jepang, Inggris bahkan Amerika sendiri pun sempat memiliki budaya patriarki dalam sejarahnya. Perempuan tidak perlu sekolah tinggi. Sulit mendapatkan sekolah yang menerima anak perempuan. Mereka hanya perlu memikirkan dapur dan kasur. Namun, semakin ke sini budaya itu memudar dengan kesamaan gender, bahwa perempuan juga memiliki hak untuk meraih cita-cita. Pada tahun 2001, Korea mendirikan Kementerian Kesetaraan Gender.

Kim mengalami depresi pascamelahirkan, sehingga ia perlu bertemu psikiater. Beruntunglah para perempuan saat ini yang tak perlu merasakan masa sulit seperti Kim Ji-yeong. 

Banyak pelajaran yang didapat dari kisah Kim, meskipun diceritakan dari sudut pandang orang ketiga. Alurnya yang maju mundur membuat saya tidak bosan. Meskipun temanya serius, diceritakan dengan santai sehingga mengalir begitu saja dalam sekali duduk, karena buku ini tidak begitu tebal, hanya 190 halaman saja. Tipis, bukan?

⭐⭐⭐⭐⭐
 
rose diana

July Wrap-Up
📖 Gramedia Digital


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Novel Dilan (Dia Adalah Dilanku Tahun 1990) - Pidi Baiq

Ulasan Buku Puisi Cinta Yang Marah – M. Aan Mansyur

Ulasan Novel Lelaki Tua Dan Laut - Ernest Hemingway (Seri Sastra Dunia)

Ulasan Novel Pulang - Tere Liye

Ulasan Novel Memeluk Masa Lalu - Dwitasari