Ranah Minang Yang Dikenang

RANAH MINANG YANG DIKENANG



Wola, 
Assalamualaikum
Saya sudah lama sekali tidak menulis pertualangan. Okey kali ini saya akan mengantar kalian semua berpetualangan ke Ranah Minang. Bisa dibilang pertualangan kali ini sekaligus pulang kampung setelah dua puluh tiga tahun ke belakang. Terakhir saya pulang saat berusia enam tahun, mau masuk SD. Sampai-sampai Mama ditanya orang kampung tidak punya anak. Maafkan Ananda. Tetapi ingatan saya tentang kampung masih teringat jelas. Waktu itu saya pulang bersama Mama dan Emak (Nenek) dengan menggunakan bus, naik kapal Ferry. Pertualangan kali ini saya naik pesawat, tidak kuat kalau naik bus. Saya pulang bareng Mama.
Tiket ke Minangkabau saya beli dengan harga Rp. 568.000 Citylink jam 11.30 dari Halim Perdanakusuma. Ini pertama kalinya saya naik pesawat di Halim, biasanya di Soeta. Untuk fasilitas, lebih nyaman di Soeta setiap bangku ada tempat untuk charge hape, sedangkan di Halim harus nyari dulu. Di Soeta lebih berasa AC-nya dibanding Halim. Namun kelebihan Halim ketika sudah di ruang tunggu (gate), masih bisa jajan sebab toko-toko tersedia di ruang tunggu.
Tiket berangkat
Indahnya ciptaan Tuhan
Penerbangan ke Minangkabau di sambut dengan mendung dari Halim, tapi ketika di atas awan, cerah. Langit biru menemani perjalanan kita. Penerbangan ditempuh 1,5 jam. Kami tiba di Bandara Minangkabau jam satu siang dengan matahari yang begitu terik. Kami sholat dhuhur dulu di ujung dekat pintu kedatangan. Karena ada renovasi, kalau mau ke toilet, di dekat pintu keberangkatan. Setelah sholat, kami ke arah pintu keberangkatan untuk ke toilet.
  
IMG_20170510_133208
Mushola dekat pintu kedatangan
IMG_20170510_140437
Mushola dekat warung nasi
Usai itu, kami mencari makan dulu sebab perut sudah lapar. Warung makan dekat pintu keberangkatan, tempat tunggu ojek. Di dekat warung nasi ini pun ada mushola dan toilet. Kami makan kena 41.000 dengan 1 porsi nasi + ikan gulai + kerupuk jange (kerupuk kulit) = 23.000 dan 2 nasi + 2 perkedel = 18.000. Rasanya enak, khas Minang.
1.jpg
Warung nasi tempat kita makan
IMG_20170510_140943.jpg
Usai makan, kita kembali ke parkiran dan mencari mobil yang di-taksi-kan. Di Bandara Minangkabau tersedia taksi Blue Bird, jadi teman-teman yang ingin naik taksi tidak perlu takut. Sedangkan damri hanya untuk ke Kota Padang dan Kota Bukit Tinggi. Kalau ingin naik ojek juga bisa, kalian jalan dulu ke pintu keluar, dekat warung nasi. Nanti naik ojek dari sana. Ada juga mobil pribadi yang di-taksi-kan, seperti di Bali. Kami naik mobil yang di-taksi-kan menuju Pariaman. Ya kali ini ke kampung Mama. Kami bayar mobil 150.000 dengan menempuh perjalanan sekitar dua jam. Orang sini menyebut mobil itu adalah Grab-nya sini.
Sepanjang perjalanan kami disuguhi pohon kelapa. Memang Bandara Minangkabau terletak di perbatasan Kota Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman, di dekat laut. Pariaman adalah salah satu daerah pesisir di Sumatera Barat. Teriknya matahari tetap setia menemani perjalanan kami.
Di perjalanan, Bapak yang bawa mobil bilang kalau ke depannya akan ada kereta menuju Bandara Minangkabau, hanya saja di jadwal tertentu saja. Kami pun melewati sepanjang rel kereta yang mengarah ke Bandara Minangkabau. Sebagian rel lama dan sebagian lagi rel baru.
Saya perhatikan beberapa kantor pemerintahan dan sekolah menggunakan atap tanduk khas Minangkabau. Sepertinya sudah syarat wajib. Jadi teringat Bali, yang mana kantor pemerintahannya pun menggunakan warna bata sebagai khas daerahnya. Inilah terlihat begitu kaya negeri Indonesia. Setiap daerah yang dikunjungi, kita akan menemukan ciri khas budaya mereka.
IMG_20170512_070649
Inilah rumah kami di kampung. Panjaaang ...
IMG_20170511_180656
Pemandangan senja di depan rumah
Setibanya kami di Kampung Kampani, sinyal hape langsung hilang. Biasanya saya ketergantungan dengan sinyal, ketika merasakan tanpa sinyal pertama kali rasanya membosankan. Untungnya sudah mengantisipasi dengan membawa buku bacaan, laptop dan drawing stuff. Hanya saja panasnya tidak tahan, sebab daerahnya dekat dari pantai. Di sini pun tidak ada kendaraan umum. Semua orang di sini sudah punya motor dan kemana pun mereka pergi, motor adalah kendaraan utamanya. Mereka menyebut motor merk apapun dengan sebutan Honda, jadi kalau mendengar orang Minang bilang honda, artinya adalah motor, bukan motor honda saja tapi semua jenis motor.
Ibu (kakak Mama) langsung masak ikan asam padeh, oi lamak bana. Ikan asam padehnya beda dengan warung masakan padang di Jakarta atau kota lain. Ini asli, tidak pakai mecin dan pakai minyak kelapa buatan sendiri. Satu hal yang buat saya terkejut adalah, tidak ada tempat sampah, mereka membuangnya di kebun belakang rumah milik masing-masing. Mereka menganggap sebagai pupuk, tapi plastik gimana??? Hal itu disebabkan tidak ada truk sampah yang lewat untuk mengambil sampah rumah tangga. Ya, di sini saya diajarkan buang sampah di kebun. Disayangkan.
Aroma khas pedesaan tercium lekat di penciuman saya. Dari aroma tempurung kelapa yang dibakar, aroma tanah basah kebun, suara burung bercicit ria, suara bebek bersahutan dengan ayam, aroma masakan Minang yang kental sampai Bahasa Minang yang lebih sering terdengar daripada Bahasa Indonesia. Itulah kenapa saya suka sekali ke daerah Indonesia yang budayanya masih lekat di kehidupan masyarakatnya. Di situ kita bisa belajar kearifan lokal masyarakat setempat. Bahkan adat makan seperti pisang goreng atau cemilan pun, ada tata caranya. Sewaktu saya mau makan pisang goreng kipas yang dibeli sebelum tiba di rumah, Mama mengajarkan kalau pisangnya diambil lantas disimpan di piring kecil. Karena itu selalu tersedia piring kecil. Begitulah adatnya.
Untuk waktu pun, meskipun masuk waktu Indonesia bagian barat (WIB), Minangkabau tetap tidak sama waktunya dengan Pulau Jawa. Kurang lebih, lebih telat 30-45menit dari WIB. Di sini magrib jam setengah tujuh lebih. Sebab jam enam, masih terang seperti jam lima atau setengah 6 di Jakarta. Jadi jam 9 malam di sini, mereka menganggap masih sore.

Kamis, 11 Mei 2017
Hari ini tanggal merah. Rencana, saya akan jalan-jalan yang dekat-dekat saja. Uni Yeni mengajak ke Pantai Pariaman. Saya kira memang namanya Pantai Pariaman, ternyata nama pantainya banyak dan terletak di Pariaman. Mungkin seperti pantai di Gunung Kidul yang namanya bermacam-macam.
Sebelum berangkat, Mama mengajak jalan-jalan depan rumah mencari katupek sayua. Sayangnya, kami kehabisan. Fuhft.
IMG_20170511_084438.jpg
Jam 09.00 kami berangkat dari rumah dengan menggunakan motor. Butuh waktu kurang lebih 30menit untuk perjalanan. Pertama, kami mengunjungi Pantai Gandoriah. Di pantai ini ada tugu TNI dan kapal besar. Pantainya tidak begitu bagus tapi sepanjang pantai ombaknya besar. Saat kami datang, di sini sudah ramai dengan rombongan karyawisata anak sekolah. Untuk foto saja agak susah karena banyak orang di mana-mana. Teriknya sudah menyorot mata kami. Kalau ke sini, disarankan bawa sun glasses.

Tidak begitu lama kami di pantai ini karena cukup ramai. Kami pun pindah tempat. Parkir motor 3.000.
Kami lanjut ke Pantai Cermin. Kami tidak turun di pantai ini sebab masih ramai. Pantai ini banyak spot foto seperti lambang cinta, tulisan-tulisan tapi kalian harus bayar. Pintar orang sini, buat kreatifitas lalu dapat uang. Sepanjang pantai tersedia bangku plastik dan meja. Kalau kalian datang berdua atau ramai-ramai, kongkow di sini seru sambil minum air kelapa muda di tepi pantai. Lebih asik kalau datang sore menjelang sunset. Ada juga penyewaan sepeda kalau mau keliling pantai dengan sepeda. Ada juga tempat bermain anak-anak di tamannya. Saya rasa wahananya komplit untuk wisata keluarga. 
2.jpg
Lepas Pantai Cermin, kiri kanan kembali rumah penduduk hingga akhirnya tiba di Pantai Kata. Kami berhenti di Pantai Kata. Pantainya sepi dan banyak pohon pinus. Tempat parkirnya pun tersedia di seberangnya, mengeluarkan kocek 2.000. Di Pantai Kata ada tangga untuk foto pantai dari ketinggian. Pantainya bersih. Kami duduk di bawah pohon pinus di tepi pantai setelah memesan kelapa muda. Seandainya bersama si dia mungkin lebih asik. Pantai ini pas untuk menyendiri karena tidak banyak orang dan pemandangan pinusnya menambah keindahan Pantai Kata.
IMG_20170511_101626.jpg
Sepanjang pantai (dari Pantai Gondoriah) tersedia penjual makanan khas Minang, seperti cendol Minang, kacangpadi (kacang hijau), lontong sayur, dll. Kami memesan kelapa muda lantas duduk santai di tepi pantai, di bawah pohon pinus. Harga satu kelapa muda 10.000 saja.
  
Di Pantai Kata juga ada tangga untuk spot foto dari ketinggian agar pemandangan pantai bisa keambil semuanya. 



Matahari mulai terik, kami memutuskan pulang sebelum muka terbakar. Di perjalanan pulang, kami mampir ke pasar tradisional untuk beli udang. Rencana mau buat gulai paku udang. Di pasar tradisional, kalian akan banyak menjumpai kerupuk jange (kerupuk kulit). Kerupuknya enak dan tidak pakai penyedap rasa. Serta kami beli miso, makanan seperti bakso tapi kuahnya lebih gurih. 
IMG_20170511_120057.jpg
Miso + kerupuk jange

Jumat, 12 Mei 2017
Hari ini saya diajak ke sawah oleh Mama dan Ibu. Saya kira ke sawah langsung sawah seperti yang saya temui di Tangerang, Bekasi dan beberapa daerah di Pulau Jawa. Ternyata harus melewati hutan dan sungai dulu.
Kami berangkat dari rumah jam 07 pagi jalan kaki. Kami melewati jalan aspal dan kebun orang sekitar setengah jam. jalanan di kebun masih alami. Kami melewati surau kampung pinang. Suraunya sudah lama tidak terpakai. Kata Mama, dulu Kakek (Aba Mama) pergi ke surau ini. Setelah keluar dari kebun, kami turun menuju sungai. Eh, ada orang yang lagi mandi. Hihihi. Kami menyeberang sungai. Air sungainya jernih sekali. Rasanya mau main air lama-lama.
IMG_20170512_074009.jpg
Lalu kami naik lagi dan di atas disuguhi hamparan sawah yang luas. Eits, ini bukan sawah keluarga. Sawah keluarga masih jauh di tengah sana. Kami jalan melewati pematang sawah dari yang cukup besar sampai kecil se-satu kaki saja. Senangnya melihat beberapa petak sawah sudah menguning. Ilmu padi benar adanya. Semakin dia berisi, semakin menunduk pohonnya. Selain ular dan tikus, ada lagi hama padi, yaitu walang sangit. Orang sini menyebutnya pianggang. 
IMG_20170512_074938IMG_20170512_075006IMG_20170512_075800
Di tengah sawah, kami bertemu Ibu-Ibu yang tengah melepaskan padi dari malainya dengan mesin. Melihat mereka, saya merasa tersindir terkadang suka menyisakan makanan.
IMG_20170512_080909.jpg
Sepanjang jalan Mama dan Ibu menjelaskan yang mempengaruhi hasil panen. Yang mereka takutkan adalah pianggang itu. Di sekeliling sawah, dikelilingi pohon kelapa yang menjulang tinggi dan dari kejauhan terlihat gunung. Panas mulai terik namun warna kuning dan hijau sawah, membuat panas tak terasa. Kami pun melewati kali kecil sebagai pengairan sawah ini.
IMG_20170512_082251.jpg
Di setiap meter terdapat pintu air yang diatapi dengan atap tanduk khas Minangkabau, orang sini menyebutnya sekoci.
3.jpg
Nah pintu air tanduk itu namanya sekoci (orang sini menyebutnya)
Usai melihat sawah kita, kami pun pulang dengan jalan yang sama dengan berangkat tadi. Di tengah jalan, mama terjatuh ke sawah. Untungnya tidak terlalu tinggi pematangnya. Karena tanahnya masih lembek, Mama sulit untuk naik. Sendalpun tertinggal di dalam. Di korek biar bisa dibawa sendalnya. Lucunya Mama malah bilang, “Tadi divideo-in nggak pas Mama jatoh?”
“Enggak lah. Mana kepikiran,” jawabku sambil jalan.
“Harusnya divideo-in biar kenang-kenangan.” Mama melanjutkan.
Tidak lama di pematang yang lain, saya kepeleset tapi tidak sampai jatuh ke sawah. Karena pematangnya tidak rata, jadi pijakan kaki tidak kuat dan hampir saya keseleo. Ada sepuluh menit saya duduk di sana untuk merileks-kan kaki agar tidak terlalu sakit dan bisa dibawa jalan. Setelah berkurang, kami melanjutkan perjalanan dengan menertawakan jatuh tadi.
IMG_20170512_083800.jpg
Jam masih setengah sepuluh tapi hari sudah terik. Rasanya badan sudah mandi keringat. Sesampainya di sungai, kita kembali main air. Mama membersihkan kaki dan sendal yang terjatuh tadi. Sedangkan saya membersihkan baju yang kotor karena kepeleset tadi. Ternyata alam mampu mengobati tubuh yang sakit. Ketika saya kepeleset, rasanya pergelangan kaki nyeri apalagi bekas keseleo tahun lalu. Saat dibawa jalan, pergelangan itu terkena rumput basah, ilalang basah, terasa kaki dipijit oleh alam semesta. Pantasan petani-petani itu sehat kakinya.
IMG_20170512_084753
Main air dulu
IMG_20170512_085411
istirahat dulu sebelum lanjut pulang. Percaya tidak di warung ini, saya dapat sinyal 4G
Setelah sampai di jalan aspal, kami mampir beli lontong sayur yang dihargai 3.000/bungkus. Porsinya buat kenyang untuk ukuran saya. Isinya ada mie, gulai nangka dan kerupuk merah. Nasi uduk juga ada dihargai 3.000. Di Bekasi atau Jakarta 3.000 boro-boro dapat. Hihihi.
Sampai di rumah, langsung mandi sebab badan gerah banget. 
Sorenya, saya diajak panen pisang sampai pepaya. Nikmatnya tidak perlu beli.
4.jpg

Sabtu, 13 Mei 2017
Yeay hari ini adalah perjalanan seharian saya. Perjalanan ini masuk ke itinerary saya ke Sumatera Barat. Walaupun niat mengunjungi saudara, tetap itinerary nge-bolang harus dibuat dan tersampaikan. Saya akan menjelajah Kota Bukit Tinggi bersama Uni Yeni lagi.
Kami berangkat jam 05.45 naik bus jemputan pedagang, mobil elf. Sebenarnya mobil umum, tapi karena pagi dan banyak pedagang, jadi ada beberapa yang dijemput ke rumah. Biasanya mobil ini tiba jam lima, hari ini agak telat. Mobil ini sebenarnya dari Terminal Jati menuju Terminal Pasar Aur Kuning, tapi kita tidak turun di sana. Ongkosnya 20.000 karena kita dijemput. Kalau tidak dijemput, kita naik di terminal Jati dengan ongkos 15.000.
Selama perjalanan masih gelap. Hanya melewati jalanan yang hanya dua jalur. Cukup cepat tidak ada hambatan. Jalanannya naik turun dan berkelok-kelok, kiri kanan sawah dan pohon kelapa di sepanjang jalan. Perjalanan memakan waktu 2jam sekali jalan. Ketika akan memasuki Kota Padang Panjang tepatnya masih di daerah Tanah Datar, kita akan disambut oleh Lambah Anai yang menjadi pelepas penat selama perjalanan.
5.jpg
Lembah Anai, Tanah Datar, Padang Panjang

Lambah Anai merupakan salah satu maskot wisata Sumbar. Orang Minang biasanya menyebutnya Aia Mancua Lambah Anai. Tinggi air terjun ini sekitar 35 meter dan merupakan aliran sungai Batang Lurah Dalam dari Gunung Singgalang yang menuju patahan Anai. Tidak jauh dari air terjun ada jembatan rel kereta api peninggalan Belanda. Air terjun ini pernah mengamuk tahun 2015 yang mengakibatkan air tumpah ke jalan. Kalau lewat sini, hati-hati ya. Pelan-pelan saja.
Di sini udara dingin dan sejuk. Sebelah kanan jalan tebing dan sebelah kiri jalan jurang atau disebut ngarai. Tidak begitu jauh, sebelah kanan ada kolam berenang Mega Mendung dan Mato Air. Lalu kami tiba di pintu selamat datang di Kota Padang Panjang. Kalau dari jakarta naik bus, kami pasti lewat sini (teringat masa kecil).
Kami turun di simpang Jambu Aia karena mau mampir makan dulu lalu naik angkot 14 ke arah Panorama (angkotnya warna merah) turun di rumah makan Pecal Ayang. Kalau pagi ada pasar di depannya.




Saya makan lontong sayur nangka campur kacang panjang + Uni Yeni makan pecal + sala bule 2 + keripik balado 1 + tahu goreng 1 = 18.000. Kata Uni Yeni, makanan di sini enak dan sudah terkenal. Terbukti saat kami tiba sudah ramai dan sulit mencari tempat duduk.
IMG_20170513_074628.jpg
Usai makan, kami jalan kaki ke arah turunan di dekat warung makan itu menuju tembok cina. Kata Uni yang jualan di pasar, turun saja ke bawah. Lumayan jauh, kami jalan ke bawah sekitar 1km. Hati-hati jalanan licin. Di trotoarnya banyak lumut, lebih baik jalan di jalan rayanya, lebih aman. Jalananya turunan, cukup curam dan berkelok. Sebenarnya ada angkot ke sini tapi kami tidak naik sebab nanggung, sekaligus olahraga pagi. Hehehe. 
IMG_20170513_081256.jpg
Jalanan ke arah Janjang Koto Gadang

Tiba di Janjang Koto Gadang (Great Wall of Koto Gadang) atau orang sini menyebutnya Tembok Cino. Masih sepi, hanya ada Bapak yang lagi nyapu. Kami harus melewati turunan dulu, hati-hati licin. Kalian yang mau ke sini harus menggunakan alas kaki yang benar. Uni Yeni pakai flat shoes dan akhirnya dibuka takut kepeleset. Baiknya pakai alas kaki yang anti slip. Hati-hati juga ada jalannya yang kena longsor, Cuma bisa dilalui satu orang.
IMG_20170513_081744.jpg
11.jpg
13
Uni Yeni lepas sepatunya takut kepeleset
12
Ada jalan yang longsor, hati-hati.
Tidak lama kami turun, kami disuguhi sawah dan saung dengan atap tanduk, berasa di Minangkabau. Di belakangnya sudah disambut Ngarai Sianok. Di sini saya merasa, begitu indah ciptaan Allah. Cukup lama kami foto-foto di sini. Kami beruntung datang pagi karena belum banyak orang jadi foto kami bagus. Hihihi. 
IMG_20170513_082204IMG_20170513_082229
Usai foto-foto, kami melanjutkan perjalanan. Tidak begitu jauh sebelah kiri bagian bawahnya ada pemancingan lalu kami melewati jembatan besi. Sepanjang jalan, mata dimanjai dengan indahnya Ngarai Sianok. Jalanan di sini hanya memakai paping blok, jadi maklum jika jalanannya ada yang tidak rata. Tidak begitu jauh akan bertemu dengan warung penjual kerajinan dan di tengah jalan ada kotak untuk kebersihan, ya seikhlas kalian saja mau kasih berapa. Dari sini sudah terlihat sungai yang melintasi bawah Ngarai Sianok. Air sungainya jernih. Hati-hati sebelah kiri jalan langsung tebing, takutnya ada longsor dan sebelah kanan jurang.


Kami jalan terus sampai ketemu jembatan gantung, orang sini menyebutnya rajang. Hati-hati di sini jangan becanda dan jalan satu persatu. Dari jembatan ini, pemandangan Ngarai Sianok dan sungainya terlihat tambah cantik.
RAIN DROP
Jembatan gantung / rajang
WITH TISSU
IMG_20170513_083331
Sebelah kiri dari jembatan
IMG_20170513_083320
Sebelah kanan dari Jembatan
Sampai di ujung jembatan, perjuangan menaiki tangga tembok cina di mulai. Satu persatu anak tangga kami lewati. Sesekali kami berhenti untuk berfoto ria. Kalau tidak kuat, jangan dipaksakan. Kami tidak sampai atas sebab kaki sudah gemetaran, sedangkan destinasi masih banyak. Akhirnya di tangga 124 kami menyerah dan kembali turun. Kalau kalian bisa sampai atas, jalan pulangnya bukan jalan naik tadi, ada lagi jalannya.


Beberapa tangga Janjang Koto Gadang
Kami turun dan pulang melalui jalan kami datang tadi sampai ketemu tangga (janjang) setelah pintu keluar Lobang Jepang. Anak tangga ini kurang lebih ada 50-60 anak tangga dan tajam nanjaknya. Sebenarnya bisa naik angkot ke Panorama tapi sama saja nanjaknya. Naik angkot nanjak di jalan raya, kalau kami naik tangga. Di situ kami merasa mulai lemas kakinya. Berkali-kali berhenti saking tidak kuatnya. Sampai di atas ada rumah penduduk dan gapura ke arah kanan. Kami melewati kuburan yang sebelah kanannya, pemanadangan jalan raya, Ngarai Sianok dan Gunung Singgalang lalu kami bertemu menara.
IMG_20170513_093235
View Ngarai Sianok
IMG_20170513_093159
Jalan raya ke Janjang Koto Gadang, tempat kami datang tadi pagi
IMG_20170513_093404
Janjang Koto Gadang dari kejauhan
Saat itu sudah mulai ramai. Menara penuh oleh pengunjung. Kalau mau ambil foto memang bagus dari menara. Banyak pula turis asing yang berfoto ria di menara itu. Tak jauh dari menara, ada pedagang souvenir. Kami berhenti sebentar sekedar membeli souvenir.
Tips agar dapat murah, ajak teman atau siapapun yang bisa Bahasa Minang, lalu menawarlah dengan Bahasa Minang
Saya beli 5 gantungan kunci @5000 dan 3 magnet kulkas @10.000 hanya membayar 50.000, seharusnya 55.000. Ada juga kalung etnik seharga 25.000.
1514
Usai belanja, kami lanjutkan perjalanan sampai di Panorama Ngarai Sianok. Hati-hati kalau ke sini jangan menenteng makanan sebab banyak kera berkeliaran. Kalau kalian menenteng makanan, siap-siap dikejar kera. Uni Yeni saja sempat didekati kera padahal tidak menenteng makanan.
Cukup lama kami berfoto di sini. Dari sini terlihat jelas keindahan Ngarai Sianok dan tingginya Gunung Singgalang. Kamu pasti betah berada di sini. Toiletnya bersih.
Usai dari Panorama, kami menuruni anak tangga sampai Lobang Jepang. Kami tidak masuk sebab ke dalamnya menuruni anak tangga lagi dan ke luarnya di pintu keluar ke arah tembok cina tadi. Bisa saja keluar lewat pintu masuk tapi menaiki anak tangga itu yang tidak kuat kakinya. Akhirnya kami foto-foto saja di depannya. Kalau kalian masuk, pasti ditawari guide untuk masuk sebab di dalam tidak ada penunjuk arah. Untuk Guide, biasanya 50.000-80.000. Kalau kalian mau kasih lebih, silakan saja. Menurut Guide yang tengah menjelaskan kepada salah satu pengunjung, bahwa Bukit Tinggi ini di bawahnya membentang Lobang Jepang, hanya saja yang dibuka untuk wisata hanya beberapa ruang saja. Lobang Jepang ini seperti banker kebanyakan. Ada beberapa ruang tersekat-sekat dan gelap.


Sebelumnya, Lubang Jepang dibangun sebagai tempat penyimpanan perbekalan dan peralatan perang tentara Jepang, dengan panjang terowongan yang mencapai 1400 m dan berkelok-kelok serta memiliki lebar sekitar 2 meter. Sejumlah ruangan khusus terdapat di terowongan ini, di antaranya adalah ruang pengintaian, ruang penyergapan, penjara, dan gudang senjata.
Selain lokasinya yang strategis di kota yang dahulunya merupakan pusat pemerintahan Sumatera Tengah, tanah yang menjadi dinding terowongan ini merupakan jenis tanah yang jika bercampur air akan semakin kokoh. Bahkan gempa yang mengguncang Sumatera Barat tahun 2009 lalu tidak banyak merusak struktur terowongan.
Diperkirakan puluhan sampai ratusan ribu tenaga kerja paksa atau romusha dikerahkan dari pulau Jawa, Sulawesi dan Kalimantan untuk menggali terowongan ini. Pemilihan tenaga kerja dari luar daerah ini merupakan strategi kolonial Jepang untuk menjaga kerahasiaan megaproyek ini. Tenaga kerja dari Bukittinggi sendiri dikerahkan di antaranya untuk mengerjakan terowongan pertahanan di Bandung dan Pulau Biak.
Lubang Jepang Bukittinggi (juga dieja Lobang Jepang) adalah salah satu objek wisata sejarah yang ada di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Lubang Jepang merupakan sebuah terowongan (bunker) perlindungan yang dibangun tentara pendudukan Jepang sekitar tahun 1942 untuk kepentingan pertahanan.
Lubang Jepang mulai dikelola menjadi objek wisata sejarah pada tahun 1984, oleh pemerintah Kota Bukittinggi. Beberapa pintu masuk ke Lubang Jepang ini di antaranya terletak pada kawasan Ngarai Sianok, Taman Panorama, di samping Istana Bung Hatta dan di Kebun Binatang Bukittinggi. (Sumber : Wikipedia)

Usai foto-foto, kami keluar dari Panorama. Sebenarnya menikmati Panorama, Lobang Jepang dan Tembok Cina itu, kita bayar tiket sebesar 5.000, tetapi karena kita alurnya melawan arah dan kepagian, jadi menikmati itu semua tanpa membayar sedikitpun tiket. Keren ya. Husssttt jangan bilang-bilang. Hehehe.


Pintu masuk Taman Panorama
Dari Panorama, kami ingin mencari minum. Ada aroma sate dari seberang, kami pun menyeberang. Niat hanya membeli minum, malah makan rujak dulu sambil mengistirahatkan kaki.
Usai makan rujak, kami naik angkot merah menuju Pasa Ateh dan turun di depan Tugu Bung Hatta (ongkos 3.000). Tugu Bung Hatta berada di tengah taman. Kami berfoto sebentar lalu meneruskan ke Jam Gadang dengan menyusuri trotoar.

Tiba di Jam Gadang, hari sudah mulai terik. Matahari sudah di atas kepala. Cuaca mendukung dan langit biru sekali. Kami berfoto lagi, cukup lama juga. Seperti tidak peduli lagi panasnya.



Setelah sudah mulai lapar, kami jalan mencari nasi kapau untuk makan siang. Kapau itu adalah tenda makan yang lauknya tersaji di depan mata kita. Makan di kapau adalah kegiatan wajib ketika kalian ke Ranah Minang. Kami makan di kapau Ni Lis, kapau biasa Uni Yeni makan, katanya enak. Saya makan nasi + ayam goreng balado dan Uni Yeni makan nasi + usus serta 1 es teh manis, kami membayar 45.000. Ekspetasi saya terhadap nasi kapau begitu tinggi jadi ketika saya makan, biasa saja dan sangat disayangkan rendang tidak tersedia, hanya ada rendang ayam dan rendang singkong. Kalau saya kasih nilai, rasa nasi kapau Ni Lis, saya kasih nilai tujuh.

Usai makan pas adzan dhuhur. Kami pergi mencari mesjid, melewati pertokoan yang mirip dengan Pasar Baru di Bandung. Kami jalan kurang lebih 200meter tiba di mesjid Raya Bukit Tinggi. Mesjidnya tidak terlalu besar seperti mesjid raya kebanyakan. 


Mesjid Raya Bukit Tinggi

Usai sholat, gerimis panas, namun tidak menyurutkan langkah kami. Kami jalan sedikit sampai kebun binatang. Kami bukan niat ke kebun binatangnya melainkan niat foto rumah adat dan ke Jembatan Limpapeh. Ke kedua tempat itu harus melewati kebun binatang. Tidak begitu banyak binatang di sini, hanya ada macan, singa, gajah, kasuari, merak, dll. Masuk ke kebun binatang membayar tiket 15.000/orang.


Tiket masuk kebun binatang



Jembatan Limpapeh

Tadinya saya mau ke pagaruyung, tapi ternyata jauh ke atas lagi dari Bukit Tinggi sekitar dua jam lagi, akhirnya ya foto rumah adat di sini saja. Di Jembatan limpapeh ternyata di bawahnya melintas jalan raya ke arah terminal pasar Aur Kuning. Di Jembatan Limpapeh, kami bertemu rombongan anak sekolah yang berlarian di atas jembatan, sepertinya tengah study tour.


View Kota Bukit Tinggi
Keluar dari Jembatan Limpapeh, kami disambut pohon pinus dan tulisan Benteng Van De Kock. Kami hanya foto tulisannya saja dan tidak masuk ke dalam karena hari sudah mulai siang, takut malam tiba di rumah.

Keluar dari kebun binatang, kami sempat salah jalan dan kesasar. Kami bertemu jalan yang sepi seperti daerah Bugis di Singapura saat pagi hari, sepi. Bahkan tidak ada angkot yang lewat. Mau bertanya pun tidak ada orang yang bisa ditanya. Alhamdulillah lewat angkot merah no.13 menuju Terminal Aur Kuning (ongkos 3.000). Saat itu jam sudah menunjukkan 14.17. waktu yang ditempuh sekitar 15menit sebab Uda supirnya lewat jalan motong, kalau tidak mungkin lebih jauh.
Tiba di terminal Pasa Aur Kuning, kami menunggu elf seperti yang kita naiki tadi pagi. Kebetulan belum ada yang tersedia. Sudah banyak penumpang yang menunggu dengan belanjaan banyak. Kata Uni Yeni hari Rabu dan Sabtu memang hari pedagang belanja di sana. Terminal Aur Kuning memang menyatu dengan pasar, seperti Pasar Baru dan terminal Stasiun Hall Bandung. Ada sejam kami menunggu. Ongkos elf kali ini 26.000 untuk 2orang, berarti 13.000/orang. 


Tiket elf pulang

Menunggu elf

Kami dapat trip kedua sebab trip pertama sudah penuh apalagi kami minta duduk di belakang supir sebab saya mau ambil lembah anai di jalan pulang nanti, tadi pagi tidak sempat. Setelah satu jam menunggu, mobilnya tiba bejibun. Orang berebut masuk, untung kami sudah punya tiket dan tertulis nomor bangkunya. Sempat beradu mulut dengan ibu-ibu sebab nomor bangku kami sama dengan nomor bangku mereka. Ternyata keneknya double kasih, ya kami sudah duluan naik. Apalagi Uni Yeni pintar mempertahankan. Mobil ini menuju Terminal Jati dan berangkat sekitar jam 15.30.
Di tengah perjalanan, kami ditemani lagu-lagu Indonesia sampai barat koleksi Uda supir. Mobilnya lebih penuh dari pas berangkat tadi pagi, percis seperti elf kebanyakan. Kami sempat terjebak macet di jalan keluar Bukit Tinggi ke Padang Panjang disebabkan hujan dan ada truk mogok. Apalagi hanya dua jalur dan jalur berkelok-kelok, jadi tidak bisa menyela mobil orang. Dari bukit tinggi ke Lembah Anai kurang lebih setengah jam.
Kami tiba di Terminal jati jam 17.45. Kami jajan dulu sambil menunggu Ayah jemput.

Minggu, 14 Mei 2017
Hari ini kami akan survey tempat ulakan. Ulakan itu nama daerah tempat pesantren orang tua. Ada dua tempat seperti itu di Sumatera Barat, yaitu di Pariaman (daerah ulakan) dan Bukit Tinggi (daerah Koto Lamo). Kami menempuh satu jam dengan motor untuk tiba di sana.
Saya membonceng mama dan Uni Yeni membonceng Ibu. Ternyata ulakan itu ada makam Syekh Abdurahman, Syekh yang menyebarkan Agama Islam di Pariaman. Banyak yang datang ke sini. Kabarnya banyak yang datang untuk berdoa, ya seperti makam wali di tanah Jawa. 



Mesjid Ulakan (Pesantren Orang Tua) yang terletak di sebelah makam Syekh, dipisahkan oleh pagar tembok

Di depan makam itu ada yang menjual dari makanan ringan, buku, sampai tempat penyimpan sirih.



Usai dari ulakan, kami pergi makan siang di Pantai Tiram, sekitar lima belas menit dari makam tadi. Makan di pinggir pantai nikmatnya. Total kita makan 106.000



Pantai Tiram juga tak kalah indahnya dengan pantai yang lain. Pantai ini tidak ada tepi yang bisa main-main dengan air laut sebab tepinya agak landai seperti jurang pendek dan ombaknya besar. makanya jarang yang mau turun mendekati air laut. 

Siangnya, saya diajak ke makam Emak (Nenek) melewati kebun orang, hutan kering. Saya tidak masuk ke makamnya sebab saya lagi halangan. Akhirnya menunggu di luar makam. Cukup banyak nyamuk Aides di sini.  Melewati hutan yang kering. Beginilah rasanya berada di tengah hutan. Ayah saja tidak sadar digigit pacet dan baru sadar usai mandi.

Senin, 15 Mei 2017
Tidak banyak yang saya lakukan hari ini. pagi hanya menceritakan perjalanan ini ke dalam laptop agar bisa dibagikan ke kalian semua dan setelah itu packing.

Selasa, 16 Mei 2017
Waktunya pulang dan kembali ke Jakarta. Saya mendapat penerbangan jam 13.30 dari Bandara Minangkabau ke Bandara Halim Perdanakusuma. Saya dapat tiket 583.603 (Citilink) sudah include asuransi.

Tiket pulang

Di bandara Minangkabau, cukup lama saya menunggu. Di tiket dijelaskan paling lambat  check in 90menit sebelum keberangkatan. Tetapi jam 13.00 masih bisa check in. Ah kadang saya terlalu terpaku dengan aturan. Padahal sudah buru-buru ke bandaranya, takut hangus. Kebiasaan di bandara internasional, sesuai tiket. 

Sesampainya di bandara, saya naik Grab ke rumah dengan ongkos 68.500 sudah include tol. Tiba di rumah, saya menyelesaikan tulisan ini sehingga bisa kalian baca sekarang.

Setiap saya travelling, ketika tempat itu berkesan, saya akan rindukan dan ingin kembali ke sana. Dan Ranah Minang, patuh untuk dikenang dan dirindukan. Semoga saya bisa kembali ke sana dan mengunjungi keindahannya yang lain.

Terima kasih Tuhan,
Terima kasih Ranah Minang,
Terima kasih Indonesia.

Atas keindahan yang luar biasa ini
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Terima kasih sudah membaca tulisan saya yang tidak seberapa ini. Dalam perjalanan, tak ada yang lebih berharga  dari pengalaman dan pertemuan dengan orang baru, budaya baru dan mengenal kearifan lokal mereka.
Meskipun perjalanan ini hanya sekedar pulang kampung, tapi saya sungguh menikmati setiap langkah kaki dan setiap mata menatap sebab satu senti langkah dan tatapan mata adalah kenikmatan yang Tuhan beri.
Sampai jumpa di pertualangan berikutnya. Wassalamualaikum. Jaa Matta ....


Rose Diana
21 Mei 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Novel Dilan (Dia Adalah Dilanku Tahun 1990) - Pidi Baiq

Ulasan Buku Puisi Cinta Yang Marah – M. Aan Mansyur

Ulasan Novel Lelaki Tua Dan Laut - Ernest Hemingway (Seri Sastra Dunia)

Ulasan Novel Pulang - Tere Liye

Ulasan Novel Memeluk Masa Lalu - Dwitasari