Rahasia Kabut #Cerpen



Di sebuah kelas kepenulisan yang memiliki peserta kurang lebih tiga puluh orang, termasuk aku di dalamnya. Hari itu adalah hari terakhir kelas setelah menjalani selama dua bulan.

Tepat di sebuah pedesaan yang dikelilingi kebun teh dan bukit serta pegunungan yang aku pun tak tahu apa nama tempatnya. Kami menginap di sebuah vila milik kakek dari pengajar kami—pemilik sekolah kepenulisan. Ketika kami tiba, kami dibagi beberapa kelompok. Satu kelompok terdiri dari tiga siswa dan satu pembimbing. Aku satu kelompok dengan Maya dan Vina serta pembimbing bernama Kak Fajar. Di antara kami berempat, tiga di antaranya memakai jilbab, Maya tidak.

Setelah pembagian kelompok selesai, kami diberikan tugas membuat sebuah karya dengan latar belakang sekitar vila. Saat itu Kak Fajar mengajak kami berjalan ke arah kebun teh. Aneh, hanya kami berempat yang ke arah kebun teh. Melewati semak belukar dan jalan setapak, kami nikmati udara segar. Entah jam berapa saat itu, yang jelas ketika aku mengadah, langit sudah kelabu—seperti akan turun hujan.

"Kak, kita gak kejauhan? Kayaknya mau hujan. Kita pada gak bawa payung loh!" tanyaku berteriak dari belakang ketika melintasi jalan setapak di antara pohon teh.

"Enggak akan hujan!" teriaknya dari depan.

Maya dan Vina pun sibuk dengan ide yang sudah di kepala, sedangkan aku sibuk melihat sekitar yang terasa janggal. Di ujung kebun teh, ada pagar kawat yang terdapat tanda 'Dilarang Masuk.' Aku penasaran mengapa dilarang masuk? Bukankah hanya kebun teh? Benakku. Aku tak ambil pusing. Aku terus jalan mengikuti arah dari Kak Fajar meski mataku masih mengarah ke pagar itu. Tiba-tiba terdengar jelas ada yang memanggil namaku dari belakang. Segera aku menoleh dan mencari seruan yang memanggil namaku. Kosong. Saat itu tak ada satupun orang di belakangku. Aku berjalan paling belakang dan di depanku Maya. "Maya, lo denger ada yang panggil nama gue?" tanyaku penasaran.

"Enggak ada kok. Di sini sepi tahu. Cuma kita berempat doang," jelas Maya dengan tatapan masih ke depan.

Entah. Firasat keganjalanku semakin terasa. Aku menoleh ke arah pagar itu lagi. Ada seorang kakek tua berdiri di depan pagar itu seraya memotong beberapa kayu dengan goloknya yang terlihat tajam. Tak jelas seperti apa rupanya. Aku segera menyelip mendekati Kak Fajar. Aku beranggapan Kak Fajar pasti sudah sering ke tempat ini, secara dia adalah pembimbing di sekolah menulis ini. Aku menyelip Maya dan Vina. Kini Maya berjalan paling belakang. "Kak!" tepukku di bahu Kak Fajar, "kakek itu siapa? Dia datang dari mana?" tanyaku segera menoleh ke arah pagar kawat tadi, diikuti Kak Fajar.

"Kakek siapa? Di sana gak ada siapa-siapa," ujar Kak Fajar.

Aneh. Ini sungguh aneh. Aku jelas-jelas melihatnya. Sangat jelas. Aku menoleh ke arah Maya dan Vina, tetapi.... "Vina, Maya mana?" tanyaku panik.

Kami bertiga segera menoleh ke belakang. Maya hilang. Baru saja beberapa menit yang lalu aku masih melihatnya. Sekarang kemana Maya? Pikiranku tak karuan. Firasat atas kejanggalan semakin terasa. Vina penakut, ia segera berlari mendekati Kak Fajar. Ia menangis ketakutan.

Tiba-tiba aku mendengar seruan memanggil namaku lagi. Tetapi di sana hanya kami bertiga. Kami melihat sekeliling kebun teh itu. Mataku terhenti lagi di pagar kawat bertanda 'Dilarang Masuk'

"Kak itu kenapa dilarang masuk?" tanyaku pada Kak Fajar.

"Seingatku, dulu ada yang dibunuh disitu. Gadis seusia Maya," jawab Kak Fajar.

Sontak pikiranku sudah macam-macam. Jangan-jangan Maya...tidak mungkin. Benakku.

Tiba-tiba di belakang Kak Fajar berjarak 500 meter, aku melihat kakek yang memotong kayu di dekat pagar kawat tadi. Ia menenteng goloknya. Mata goloknya terlihat mengkilap, tajam. "Kak, Vina hayo kita lari! Kembali ke vila!" teriakku.

Kak Fajar tidak segera menuruti. Dia menoleh ke belakang dan melihat hal yang sama, namun Vina tak melihat apapun. "Ya Tuhan, jangan terjadi lagi," lirih Kak Vina yang terdengar olehku.

Kami berlari kocar-kacir menuju vila. Perasaanku kakek tadi mengikuti kami. Keringat dingin sudah membanjiri sekujur tubuhku. Suasana mendung dan sepi menambah semakin mencekam. Kami tiba di teras vila tetapi sepi. Apakah yang lain pergi keluar? Benakku. Aku melihat kakek itu berdiri membelakangi kami. Ia menatap arah pagar kawat. Ia berjalan ke arah tempat itu. Tiba-tiba aku melihat seorang anak laki-laki berkisar enam tahun memeluk tubuh kakek itu. Dari mana anak kecil itu? Benakku.

"Kabarnya anak itu sudah meninggal dibunuh oleh kakeknya tanpa sengaja," ujar Kak Fajar mengagetkanku.

"Kak Fajar melihatnya?" tanyaku kaget.

"Anak kecil apa sih? Kakek apa sih?" tanya Vina tak mengerti. Ia masih ketakutan.

"Kamu tidak melihat apapun Vina? Di dekat pagar kawat itu," jelasku.

Vina menggeleng.

"Setelah anak itu meninggal, banyak ditemukan mayat usia remaja seusia Maya di dekat pagar itu. Kabarnya juga, anak itu meninggal di dekat situ," jelas Kak Fajar seraya mengelap peluh, "kakek itu pun menarik diri dari masyarakat setelah tak sengaja membunuh cucunya," lanjut Kak Fajar.

-----

Adzan subuh membangunkanku. Aku membuka mata lantas memikirkan mimpi tadi. Sungguh nyata dan jelas. Astagfirullah.
_RD_

Komentar

  1. Seru.... :D kalau kenyatan
    Apalagi ana bisa ikut + tambah seru wkwkwkwk
    Bisa mencuri kesempatan dalam kesempitan peace :V

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Novel Dilan (Dia Adalah Dilanku Tahun 1990) - Pidi Baiq

Ulasan Buku Puisi Cinta Yang Marah – M. Aan Mansyur

Ulasan Novel Lelaki Tua Dan Laut - Ernest Hemingway (Seri Sastra Dunia)

Ulasan Novel Pulang - Tere Liye

Ulasan Novel Memeluk Masa Lalu - Dwitasari